A. Pembelajaran Afektif
Sebagian
besar guru menganggap bahwa kemampuan intelektual merupakan satu-satunya
kemampuan yang mempengaruhi kerberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini
berdampak pada kemampuan kogitif yang selalu memperoleh perhatian dalam
berbagai aspek hingga mengabaikan keberadaan ranah yang lain, seperti ranah
psikomotor dan ranah afektif. Fakta menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang
dalam belajar tidak semata dipengaruhi oleh kemampuan kognitif, tetapi afektif
juga memberikan peran yang tidak kecil dalam hal keberhasilan dalam belajar.
Seseorang dengan kemampuan tinggi dapat saja tidak berhasil dalam belajar
apabila ranah afektif dalam dirinya terganggu. Namun sebaliknya, seseorang
dengan kemampuan kognitif biasa, tetapi memiliki minat belajar yang tinggi
tidak menutup kemungkinan keberhasilan dalam belajar akan tercapai.
Popham, (1996) menyatakan bahwa ketercapain tujuan pembelajaran
ranah afektif sangat menentukan keberhasilan belajar seseorang. Seseorang yang
tidak memiliki kemampuan afektif yang baik biasanya akan menemui kesulitan
dalam mencapai keberhasilan belajar yang optimal. Hasil belajar kognitif dan
psikomotor akan tercapai optimal apabila seseorang tersebut mempunyai kemampuan
afektif tinggi. Memahami afektif peserta didik dalam menjalani seluruh proses
belajar akan memberikan informasi terkait dengan motivasi yang dimiliki.
Semakin tinggi motivasi belajar berbanding lurus dengan prestasi dan
keberhasilan siswa dalam bidang akademik.
Keberhasilan
siswa baik pada ranah kognitif dan psikomotor sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi afektif. Siswa dengan motivasi tinggi dan memiliki sikap yang
positif terhadap suatu mata pelajaran akan merasa lebih diuntungkan dalam
mencapai keberhasilan dalam belajar. Meskipun siswa memiliki intelektual yang
tinggi, tetapi apabila kondisi afektifnya terganggu maka tidak mengherankan
apabila capaian keberhasilan pembelajaran tidak akan optimal. Oleh sebab itu,
penting bagi pendidik untuk dapat mengukur dan mengetahui kondisi afektif
siswa, khsusunya dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini akan menjadi informasi
bagi pendidik, sehingga dapat memberikan perlakuan ataupun tindakan yang sesuai
dengan situasi dan kondisi siswa yang sedang dihadapi.
A.
Tingkatan Afektif
Dapat
dipastikan bahwa dari semua tujuan kognitif pasti memiliki komponen afektif.
Dalam pembelajaran sains yang identik dengan aspek kognitif, misalnya,
keberadaanya juga tidak lepas dari ranah afektif, yaitu dengan adanya komponen
sikap ilmiah di dalamnya. Anderson &
Krathwohl (2001)
mengklasifikasikan ranah afektif menjadi lima macam, yaitu 1) penerimaan (receiving), 2) pemberian respon (responding), 3) pemberian nilai atau
penghargaan (valuing), 4)
pengorganisasian (organizing), dan 5)
karakterisasi (characterization).
Menerima
(receiving) merupakan tingkat afektif
yang paling sederhana, yaitu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar.
Rangsangan yang diperoleh menimbulkan berbagai reaksi yang berjenjang seperti
menerima, mengontrol, atau menyeleksi rangsangan-rangsangan yang diperoleh. Receiving sering diberi pengertian
sebagai keinginan untuk memperhatikan sesuatu kegiatan. Termasuk dalam fase ini
adalah subkategori kesadaran, kesedian untuk menerima serta pengontrolan
atensi. Fase ini masih dianggap sebagai fase awal dari afeksi sehingga pada
kondisi ini siswa baru dalam batasan menerima stimulus yang diberikan.
Menanggapi
(responding) merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam
fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya. Menghargai atau (valuing) merupakan fase afektif yang
lebih tinggi dari receiving dan responding. Jika dikaitkan dengan
kegiatan belajar mengajar, siswa tidak sekadar mampu menerima melainkan
menghargai sesuatu yang bernilai. Siswa tidak sekadar mendapatkan nilai, tetapi
mampu memberikan nilai atas konsep dan fenomena yang dihadapi.
Nilai
itu telah mulai dihayati dalam diri siswa. Dengan
demikian, nilai tersebut telah stabil dan diri siswa. Mardapi (2014)menjelaskan subkategori fase ini sebagai fase
penerimaan suatu nilai, senang atau tidak senang serta komitmen terhadap hasil
respon yang diberikan. Kondisi ini merupakan tahap lebih lanjut dari afeksi.
Siswa sudah dapat melakukan penilaian terhadap suatu objek sampai pada kondisi
membuat komitmen terhadap penilaian yang dilakukan.
Mengorganisasikan
(organizing) merupakan usaha untuk
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal dan
membawa pada perbaikan umum. Mengatur merupakan pengembangan nilai ke dalam
satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan suatu nilai dengan nilai
lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Subkategori dari
tahap ini adalah konseptualisasi suatu nilai pengorganisasian suatu nilai. Fase
ini merupakan fase lanjutan dari menilai yang berarti bahwa siswa sudah mampu
mengkonsep nilai afektif yang didapat kemudian dilanjutkan dengan
mengorganisasikan nilai afektif yang didapat dari suatu objek.
Karakterisasi
merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang
mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Dalam hal ini proses
internalisasi nilai telah menempati posisi tertinggi dalam suatu hierarki
nilai. Nilai telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah
mempengaruhi emosinya. Fase ini menunjukkan siswa dalam menggeneralisasi nilai
yang didapat kemudian menjadikannya sebagai sebuah karakter.
A.
Karakteristik
Ranah Afektif
Perilaku menurut Andersen (1981) dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam. Klasifikasi pertama yaitu ranah yang
melibatkan emosi dan perasaan seseorang dan kedua adalah ranah yang menunjukkan
tipikal perilaku seseorang. Selain itu, intensitas, arah, ataupun target juga
dapat dimasukkan ke dalam ranah afektif. Intensitas berkaitan dengan kuat
lemahnya perasaan yang dimiliki. Arah berkaitan dengan pandangan yang berupa
baik buruk atau positif negatif, sedangkan target berkaitan dengan aktivitas
ataupun objek sebagai arah dari sebuah perasaan.
Selain itu, karakteristik
yang terdapat dalam ranah afektif dapat dibedakan lagi menjadi lima macam,
yaitu adanya sikap, minat/motivasi, konsep diri, nilai, dan adanya moral. Sikap
dapat dimaknai sebagai kecenderungan dalam melakukan tindakan terhadap suatu
objek, baik itu disukai ataupun tidak disukai. Hal ini seperti yang diungkap Fishbein & Ajzen (2010) bahwa bentuk
sikap merupakan bentuk respon baik positif ataupun negatif terhadap suatu objek
yang dihadapi. Sikap yang dimiliki seseorang keberadaanya dapat dibentuk dan
ditingkatkan. Pembentukan sikap ke arah positif dapat diupayakan dengan cara
mencontoh bentuk-bentuk yang memang keberadaanya sudah baik. Sikap dapat
digunakan sebagai acuan dalam penilaian ranah afektif. Penilaian ini nantiya
akan menunjukkan bagaimana sikap peserta didik terhadap mata pelajaran yang
diikuti, bagaimana situasi dan kondisi kegiatan belajar mengajar, dan lain
sebagainya.
Minat merupakan bagian dari ranah afektif dan keberadaanya diperlukan untuk mencapai keberhasilan belajar. Getzel (1966) menjabarkan bentuk minat sebagai sesuatu yang teroganisasi melalui pengalaman sehingga memberikan dorongan kepada yang bersangkutan untuk memperoleh pengalaman, keterampilan, ataupun informasi yang diperlukan. Minat yang tinggi dari seseorang dapat dilihat dari jumlah intensitas dalam melakukan. Semakin tinggi intensitas maka semakin tinggi pula minat yang dimiliki oleh seseorang. Manfaat pengukuran/penilaian minat adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui
minat yang terdapat dalam diri siswa sehingga dapat dengan tepat memberikan
perlakukan terhadap kondisi minat masing-masing siswa.
2. Mendeteksi
minat dan bakat yang dimiliki masing-masing siswa.
3. Digunakan
sebagai bahan acuan untuk memberikan pelayanan yang optimal.
4. Mendeskripsikan
keadaan kelas yang sebenarnya.
5. Sebagai
bahan acuan agar dapat digunakan untuk mengelompokkan siswa sesuai dengan minat
yang sama.
6. Digunakan
sebagai bahan informasi dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat untuk
siswa.
7. Memetakan
seberapa tinggi minat yang dimiliki siswa khusunya pada mata pelajaran yang
sdang diikuti.
8. Digunakan
untuk meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam hal akademik ataupun
nonakademik.
9. Digunakan sebagai bahan untuk menentukan kebijakan yang sesuai.
Konsep diri berkaitan
dengan kuat lemahanya potensi yang terdapat di dalam diri masing-masing
individu. Siswa dapat melakukan
evaluasi secara objektif terhadap potensi yang terdapat dalam diri
masing-masing. Karakteristik potensi siswa sangat penting untuk menentukan
jenjang karir di masa depan. Informasi kekuatan dan kelemahan siswa dapat
digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh siswa. Penilaian
konsep diri dapat diupayakan dengan cara menilai diri sendiri. Penilaian
sedapat mungkin dilakukan dengan sejujur-jujurnya sehingga hasil penilaian
dapat digunakan untuk berbagai acuan. Beberapa manfaat penilaian diri sendiri
ini adalah sebagai berikut.
1.
Acuan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan yang terdapat dalam diri masing-masing peserta didik.
2.
Sebagai bahan refleksi diri peserta didik
terhadap capaian dalam pendidikan.
3.
Sebagai bahan acuan untuk menentukan bahan
ajar yang akan diberikan untuk peserta didik.
4.
Melatih kejujuran dan kemandirian peserta
didik.
5.
Peserta didik semakin memahami kelemahan
dan kelebihan yang dimilikinya.
6.
Peserta disik semakin memamahi potensi
yang dimiliki.
7. Melatih untuk belajar terbuka terhadap diri masing-masing.
Nilai dapat dikatan
sebagai bentuk keyakinan ataupun perbuatan yang dianggap baik ataupun buruk
oleh seseorang. Tyler (1973) mendefinisikan
nilai sebagai sebuah aktivitas yang mengarahkan seseorang pada sebuah sikap,
minat, bahkan kepuasan. Pendidikan semestinya menjadi tempat yang mampu
membantu siswa dalam menguatkan nilai yang bermakna. Sedapat mungkin hal-hal positif keberadaanya diperkuat, sedangkan hal
negatif keberadaanya diperlemah atau bahkan dihilangkan. Dengan begitu, peserta
didk akan memperoleh kebahagian secara personal dan memberikan dampak positif
untuk masyarakat pada umumnya.
Moral dapat diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan standar
baik dan benar. Moral dapat juga diartikan sebagai sebuah prinsip, nilai,
ataupun keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Berperilaku secara
moral adalah suatu kewajiban untuk memenuhi aturan yang berlaku. Oleh sebab
itu, karakter seseorang dapat dinilai dari perilaku yang ditampilkan di
masyarakat tempat seseorang itu berada. Selain sikap, minat, konsep diri,
nilai, dan moral ranah afektif masih dapat dijabarkan menjadi beberapa hal.
Ranah afektif yang lain itu meliputi kejujuran, integritas, adik, dan
kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar